Infrastruktur di Indonesia
Salah satu yang menghambat perekonomian Indonesia saat ini adalah lambatnya pembangunan infrastruktur -- hal ini ditandai dengan kurangnya kualitas dan kuantitas infrastruktur atau prasarana. Baik infrastruktur "keras" (yang merujuk kepada jaringan fisik seperti jalan dan bandara) maupun infrastruktur "non-fisik" atau "lunak" (seperti pasokan listrik, kesejahteraan sosial dan kesehatan) Indonesia tampaknya memiliki kesulitan untuk mendorong pengembangan struktural dan secara cepat.
Dalam Global Competitiveness Report 2015-2016, yang disusun oleh lembaga World Economic Forum (WEF), Indonesia menempati urutan ke-62 dari 140 negara dalam hal pembangunan infrastruktur -- peringkat yang bertahan di standar rata-rata, namun justru menyebabkan beberapa masalah besar dalam perekonomian Indonesia.
Sejak pemerintah Orde Baru yang otoriter di bawah kepemimpinan Suharto diganti dengan era reformasi pada akhir 1990-an, pengembangan infrastruktur di Indonesia tidak sejalan dengan kecepatan pertumbuhan ekonomi yang kuat -- yang terjadi setelah pemulihan dari krisis keuangan Asia di tengah commodities boom yang sangat menguntungkan Indonesia pada tahun 2000-an. Akibat kurangnya infrastruktur, pertumbuhan ekonomi Indonesia gagal mencapai potensi penuh.
Bagaimana Kurangnya Infrastruktur Menghambat Pembangunan Ekonomi di Indonesia?
Ketika keadaan infrastruktur di sebuah negeri lemah, itu berarti bahwa perekonomian negara itu berjalan dengan cara yang sangat tidak efisien. Biaya logistik yang sangat tinggi, berujung pada perusahaan dan bisnis yang kekurangan daya saing (karena biaya bisnis yang tinggi). belum lagi adengan munculnya ketidakadilan sosial, misalnya, sulit bagi sebagian penduduk untuk berkunjung ke fasilitas kesehatan, atau susahnya anak-anak pergi ke sekolah karena perjalanannya terlalu susah atau mahal.
Pembangunan infrastruktur dan pengembangan ekonomi makro seharusnya memiliki hubungan timbal balik, karena pembangunan infrastruktur menimbulkan ekspansi ekonomi melalui efek multiplier. Sementara ekspansi ekonomi menimbulkan kebutuhan untuk memperluas infrastruktur yang ada, untuk menyerap makin besarnya aliran barang dan orang yang beredar atau bersirkulasi di seluruh perekonomian. Namun, kalau infrastrukturnya tidak dapat menyerap peningkatan kegiatan ekonomi (dan tidak cukup banyak infrastruktur baru yang dikembangkan) maka akan terjadi masalah -- mirip dengan arteri yang tersumbat dalam tubuh manusia, yang menyebabkan kondisi bahaya yang mengancam kehidupan karena darahnya tidak bisa mengalir.
Ini menjelaskan situasi paradoks bahwa buah yang diproduksi di dalam negeri bisa saja lebih mahal dibandingkan dengan buah yang diimpor dari luar negeri. Beberapa tahun yang lalu konsumen di Jakarta sering mengeluh karena jeruk impor dari China lebih murah di supermarket-supermarket di Jakarta dibandingkan dengan jeruk buatan Indonesia sendiri.
Selanjutnya, biaya logistik yang tinggi di Indonesia bisa menyebabkan perbedaan harga yang substansial di antara provinsi-provinsi di nusantara. Misalnya, beras atau semen jauh lebih mahal di Indonesia bagian timur daripada di pulau Jawa atau Sumatra karena biaya tambahan yang timbul dari titik produksi ke end user. Dengan kata lain, jaringan perdagangan yang lemah di Indonesia, baik antar-pulau dan intra-pulau, menyebabkan tekanan inflasi berat pada produk yang diproduksi dalam negeri.
Infrastruktur yang kurang memadai juga mempengaruhi daya tarik iklim investasi di Indonesia. Investor asing penuh kekhawatiran untuk berinvestasi di, misalnya, fasilitas manufaktur di Indonesia kalau pasokan listrik tidak pasti atau biaya transportasi sangat tinggi. Kenyataannya, Indonesia sering diganggu pemadaman listrik, meskipun negeri ini dinyatakan berkelimpahan sumber daya energi. Kasus pemadaman listrik cukup lumrah terjadi di daerah-daerah selain Jawa dan Bali .
Menurut data yang diterbitkan oleh Kamar Dagang Indonesia dan Industri (Kadin Indonesia), dari total pengeluaran perusahaan di Indonesia, sekitar 17 persen diserap oleh biaya logistik. Padahal dalam ekonomi negara-negara tetangga, angka ini hanya di bawah sepuluh persen.
Hal-hal demikian jelas membuat para investor berpikir dua kali sebelum memutuskan untuk berinvestasi di Indonesia. Sementara itu, masalah logistik yang tidak efisien (yang mencakup bidang transportasi, pergudangan, konsolidasi kargo, clearance perbatasan, distribusi dan sistem pembayaran) menghambat peluang para pengusaha untuk memperluas bisnis mereka.
Infrastruktur fisik yang kualitasnya kurang baik dapat menyebabkan masalah yang lebih buruk. Tidak dapat dipungkiri, para investor harus mempertimbangkan kondisi Indonesia secara geografis. Lokasi Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa menyebabkan wilayahnya berada di area curah hujan tropis berat. Dipadukan dengan lokasinya yang terletak di Cincin Api Pasifik, membuat Indonesia rentan dengan bencana alam (misalnya gempa bumi dan tsunami). Hal ini dapat menjadi gangguan besar untuk arus barang dan jasa.
Bayangkan, bahkan gempa yang relatif kecil di Indonesia dapat menyebabkan kerusakan serius -- termasuk mengakibatkan korban jiwa -- karena sebagian dari infrastruktur Indonesia tidak cukup kuat untuk menyerap kekuatan gempa itu. Sementara itu, selama musim hujan (tahunan), pemeliharaan infrastruktur yang buruk juga menyebabkan banjir, dan dengan demikian, mendorong inflasi -- karena kekurangan supply, akibat jaringan distribusi yang terganggu.
Setelah segudang catatan infrastruktur di atas, mengerjakan infrastruktur sosial (termasuk sistem pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial), akhirnya masih menjadi tugas susulan bagi Indonesia. Bisa dikatakan Indonesia masih memiliki jalan panjang untuk mengejar ketertinggalan. Namun jika negeri ini sungguh-sungguh ingin mengembangkan tenaga kerja yang sehat, terampil, dan innovation-driven, maka Indonesia perlu mengatasi hal ini sesegera mungkin.
Pemerintah Indonesia & Pembangunan Infrastruktur
Pemerintah Indonesia sadar akan pentingnya untuk memperbaiki keadaan infrastruktur sehingga iklim investasi dan bisnis menjadi lebih menarik. Saat ini, tidak ada cukup banyak jalan, pelabuhan, bandara, dan jembatan di Indonesia (ekonomi terbesar di Asia Tenggara), sedangkan - tidak jarang - kualitas infrastruktur yang sudah ada tidak memadai. Namun, pengembangan infrastruktur Indonesia (baik infrastruktur keras maupun lunak) bukanlah tugas yang mudah. Nusantara terdiri dari sekitar 17,000 pulau (meskipun banyak dari pulau-pulau ini tidak ada penghuni dan tidak menunjukkan aktivitas ekonomi). Karena berbentuk kepulauan lebih kompleks (dan lebih mahal) untuk meningkatkan konektivitas dan menyiratkan ada kebutuhan untuk fokus pada infrastruktur maritim.
Saat ini, transportasi laut lebih mahal daripada transportasi darat karena infrastruktur maritim di Indonesia itu belum dikembangkan secara substansial. Ini juga menjelaskan mengapa - meskipun Indonesia adalah kepulauan terbesar di dunia dan, dengan demikian, memiliki perairan dan laut yang luas - bisnis makanan laut (seafood) di Indonesia masih tertinggal (ini sebagian besar disebabkan oleh kurangnya fasilitas transportasi cold storage, yang juga menghambat bisnis hortikultura di Indonesia).
Pemerintah-pemerintah di era pasca-Suharto tidak sesukses dengan Suharto, Presiden kedua Indonesia, dalam mencapai pembangunan infrastruktur. Hal ini terutama disebabkan oleh konteks politik yang berbeda: demokrasi dan desentralisasi di era pasca-Suharto menyiratkan bahwa pemerintah pusat tidak bisa lagi menggunakan kekuatan militer untuk memperoleh tanah yang diperlukan untuk proyek-proyek infrastruktur. Sebaliknya, pemerintah di era demokrasi harus bergantung pada putusan pengadilan, yaitu proses panjang dan putusannya tidak selalu sesuai kehendak pemerintah. Sementara itu, desentralisasi kekuasaan kadang-kadang menyebabkan bahwa pemerintah daerah tidak mau mendukung rencana infrastruktur pemerintah pusat karena tidak ada cukup banyak keuntungan finansial bagi pejabat pemerintah daerah.
Pemerintah pusat yang kurang kuat dibanding dulu juga berarti bahwa telah menjadi lebih kompleks untuk mengembangkan proyek-proyek infrastruktur besar yang mencakup tanah di lebih dari satu provinsi. Koordinasi dan komunikasi di antara pemerintah daerah dan pusat di Indonesia boleh dikatakan lemah, yang biasanya disalahkan pada kualitas lemah sumber daya manusia di tingkat lokal. Sementara itu, kadar birokrasi (red tape) di Indonesia sangat tinggi - baik di pusatmaupun daerah - yang sering mengakibatkan keterlambatan (atau pembatalan) proyek infrastruktur karena pembuatan aturan pada tingkat pusat biasanya mencakup isu-isu makro, sedangkan fine-tuning dilakukan melalui berbagai peraturan menteri serta peraturan daerah, sehingga birokrasi memainkan peran besar dan yang menyebabkan kerangka peraturan yang tidak jelas karena koordinasi antara pusat dan daerah tidak optimal.
Terakhir, masalah terjadi karena hubungan dekat antara elit politik dan elit korporasi di Indonesia (baik di tingkat pusat dan daerah). Kedua kelompok terutama terfokus pada peningkatan kesejahteraan mereka sendiri, bukan kesejahteraan masyarakat setempat. Hal ini terkadang menyebabkan keterlambatan dalam pembangunan infrastruktur misalnya saat elit politik lokal memberikan konsesi pada perusahaan teman (yang mungkin telah membantu untuk membiayai kampanye elit politik lokal), sementara perusahaan teman itu tidak mampu menyelesaikan proyek infrastruktur tersebut. Bahkan, konsesinya dijual kepada pihak ketiga dengan menyaku keuntungan. Ini berarti bahwa banyak waktu berharga telah berlalu sebelum proyek infrastruktur itu baru ditangani secara serius.
Dalam konteks kompleks ini Presiden Joko Widodo mencari pendekatan baru untuk mencapai terobosan yang sangat dibutuhkan dalam rangka meningkatkan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Misalnya, anggaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur telah meningkat tajam sejak Widodo memimpin negara ini (ini juga dimungkinkan karena pemerintah telah memotong subsidi energi).
Alokasi Belanja Infrastruktur Pemerintah Indonesia:
Selanjutnya, Widodo menunjuk sejumlah perusahaan milik negara (BUMN) sebagai pengembang proyek infrastruktur utama. Perusahaan-perusahaan ini biasanya memiliki aset lebih besar dibandingkan dengan perusahaan swasta dan juga mampu mengumpulkan dana tambahan dari bank (BUMN) dengan lebih mudah. Ada juga peningkatan suntikan modal dari anggaran negara di dalam beberapa perusahaan konstruksi milik negara. Taktik baru lain adalah untuk mengadakan tender di tahun sebelum proyek infrastruktur diharapkan mulai dibangun.
Pembebasan Lahan: Salah Satu Kendala Utama Pembangunan Infrastruktur
Selain masalah pendanaan, kendala terbesar terkait pembangunan infrastruktur di Indonesia tampaknya pembebasan lahan. Proses pembebasan lahan itu adalah proses yang sangat rumit (makan waktu lama dan membawa ongkos mahal) karena banyak pemilik tanah menolak untuk menjual tanah mereka kepada pengembang proyek infrastruktur (misalnya banyak petani Indonesia enggan menjual tanah mereka kepada pengembang pembangkit listrik atau jalan) atau pemilik tanah ini minta harga yang sangat tinggi untuk tanah mereka. Karena kesusahan pembebasan tanah banyak proyek infrastruktur di Indonesia ditunda bertahun-tahun atau dibatalkan sama sekali.
Pada akhir 2011 tampaknya ada cahaya di ujung terowongan karena pemerintah dan parlemen Indonesia menyetujui UU No. 2/2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang dirancang untuk mempercepat proses pembebasan lahan. Hak milik tanah tertentu bisa dicabut demi kepentingan umum. Undang-undang ini juga menentukan batas waktu pada setiap tahap prosedural dan memastikan perlindungan bagi pemegang tanah. Namun, bertentangan dengan optimisme pada tahap awal, UU No. 2/2012 ini gagal untuk benar-benar mempercepat pembangunan infrastruktur. Kegagalan ini disebabkan kurangnya kemauan dari pihak pemerintah di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Waktu itu pemerintah enggan menggunakan UU ini untuk memaksa pembebasan lahan karena pemerintah sudah cukup terganggu oleh penurunan tingkat popularitas karena munculnya beberapa kasus korupsi di antara kalangan pemerintah. Seandainya memaksa orang untuk menjual tanah mereka pasti akan menyebabkan keluhan besar di antara rakyat dan para pendukung hak asasi manusia (HAM). Soalnya beberapa studi menunjukkan bahwa akuisisi lahan yang terpaksa di Indonesia menyebabkan konflik serta hilangnya pendapatan orang yang kehilangan tanah mereka.
Presiden Joko Widodo tampaknya lebih berani dan kurang peduli dengan (kemungkinannya) tuduhan HAM dan lebih memilih untuk melihat manfaat yang lebih besar bagi masyarakat daripada manfaat bagi segelintir orang. Widodo secara nyata mendukung beberapa proyek infrastruktur besar seperti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Batang di Jawa Tengah dan jalan tol Balikpapan-Samarinda dengan memaksa terobosan (apalagi Widodo hadir pada upacara groundbreaking kedua proyek tersebut), meskipun bagian dari masyarakat setempat terus memprotes terhadap proyeknya dan menolak untuk menjual tanah mereka. Ini juga harus dianggap sebagai tanda kepada investor bahwa pemerintahan Widodo tidak akan membiarkan proyek penting ditunda terus. Namun, para pengkritik bilang bahwa orang yang dipaksa pindah (dan jual tanah mereka) mengalami kesusahan untuk menemukan sumber pendapatan baru (mereka hanya menerima kompensasi dalam bentuk uang tunai satu kali saja) dan menghadapi kesulitan untuk beradaptasi dalam lingkungan sosial yang baru. Para pengkritik juga mengatakan bahwa orang-orang biasa (yang dipaksa jual tanah mereka) memiliki sangat sedikit ruang untuk bernegosiasi untuk mendapatkan kompensasi yang adil lewat UU No. 2/2012.
Sumber Pendanaan Investasi di Infrastruktur di Indonesia
Mungkin masalah terbesar - yang terkait dengan pembangunan infrastruktur di Indonesia - adalah untuk menemukan semua dana yang diperlukan. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, total Rp 4.796 triliun diperlukan untuk memenuhi target pembangunan infrastruktur (yang ditetapkan pemerintah) pada tahun 2019. Namun, pemerintah pusat dan daerah hany bisa memberikan kontribusi 41 persen untuk pembiayaan, sementara perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN) hanya dapat memberikan kontribusi hingga 22 persen. Ini berarti bahwa 37 persen dari dana yang dibutuhkan (sekitar Rp 1.752 triliun) harus berasal dari sektor swasta.
Namun, masalahnya yaitu sektor swasta - secara umum - tidak terlalu antusias untuk mengambil komitmen pada proyek yang berjangka panjang dan padat modal. Apalagi kalau iklim investasi tidak optimal di negara tujuannya. Seperti dijelaskan di atas, di Indonesia proyek infrastruktur dapat ditunda selama berbagai tahun (atau dibatalkan sama sekali) karena masalah pembebasan lahan atau rintangan birokrasi lainnya. Maka, bisa saja sebelum groundbreaking proyeknya terjadinya pergantian pemerintahan dengan presiden baru yang tidak memprioritaskan proyek infrastruktur tersebut. Mengingat kepastian hukum dan peraturan cukup lemah di Indonesia, sektor swasta cenderung sangat berhati-hati dengan berinvestasi di proyek-proyek jangka panjang dan padat modal (dan oleh karena itu keputusan Presiden Widodo untuk menggunakan perusahaan milik negara untuk membiayai dan membangun bagian besar dari proyek infrastruktur di Indonesia adalah keputusan yang bijaksana).
Sebelumnya, selama pemerintahan Yudhoyono, pemerintah menaruh harapan tinggi pada kemitraan publik-swasta (KPS) untuk pembangunan infrastruktur. Namun, skema ini tidak menghasilkan sukses yang signifikan. Untuk memberikan kepastian kepada investor swasta, pemerintah juga membentuk Penjamin Infrastruktur Indonesia (Indonesia Infrastructure Guarantee Fund, atau IIGF). Lembaga ini memberikan jaminan tertentu terhadap risiko infrastruktur untuk proyek-proyek di bawah skema KPS.
Namun, akan memerlukan terobosan besar untuk mencapai ambisi infrastruktur pemerintah Indonesia baik dalam hal skema untuk membiayai proyek maupun terobosan untuk meningkatkan kualitas iklim investasi di Indonesia. Toh kami percaya bahwa pemerintahan Widodo berada pada jalur yang benar dalam hal pembangunan infrastruktur: pemerintah dengan semangat meningkatkan pengeluaran untuk pembangunan infrastruktur melalui anggaran negara (dan melalui badan usaha milik negara, BUMN), sambil berupaya meningkatkan iklim investasi melalui deregulasi dan dengan mendukung pengembang proyek infrastruktur utama yang mengalami masalah pembebasan lahan.
Terakhir, kami ingin menyampaikan bahwa teks di atas terutama menjelaskan mengapa Indonesia kekurangan kuantitas infrastruktur. Namun, ada juga kekurangan kualitas: banyak jalan yang rusak, jembatan ambruk, dan pelabuhan yang sudah lama dan tidak memadai adalah beberapa contoh. Tidak jarang, jalan yang baru dibuat langsung rusak parah setelah kena banjir. Hal ini sebagian disebabkan oleh keinginan pengembang untuk menggunakan bahan murah (dan sedikit aspal) serta sumber daya manusia berkualitas rendah untuk mewujudkan proyek tersebut namun juga karena kurangnya dana untuk keperluan pemeliharaan (setelah infrastrukturnya dibangun). Salah urus (mismanagement), korupsi dan ketidakmampuan (kekurangan ketrampilan) adalah penyebab utama keadaan lemah infrastruktur di Indonesia.
Update terakhir: 23 Juni 2017