Ekonomi Digital: Benarkah Indonesia Segera Punya ‘Silicon Valley’?
Indonesia rupanya tidak mau ketinggalan mengembangkan potensi ekonomi digitalnya. Awal Maret lalu, pemerintah Indonesia pun meresmikan ‘Silicon Valley ala Indonesia’ yang disebut Nongsa D-Town. Kawasan seluas 5,000 m2 ini berlokasi di Pulau Batam, yang secara geografis sangat dekat dengan Singapura.
Harapannya, Nongsa D-Town akan menjadi digital talent pool generasi muda Indonesia sekaligus hub bagi start-up hingga perusahaaan digital multinasional. Konon katanya mulai dari pengembangan startup, web, aplikasi, program-program digital, film, dan animasi, semuanya akan berkumpul di Batam.
Ambisi ini sebenarnya sudah dimulai, melalui pembangunan Nongsa Digital Park pada tahun 2018 lalu, yang diresmikan oleh Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi dan Menteri Luar Negeri Singapura Dr Vivian Balakrishnan. Saat ini sudah ada sekitar 100 perusahaan multinasional seperti Glints, R/GA, dan WebImp yang telah resmi menjadi bagian dari Nongsa Digital Park.
Sebagai proyek hasil konsorsium Citramas Group dan Sinar Mas Land, Nongsa D-Town menyimpan potensi besar. Tak heran jika perusahaan pun rela mengucurkan USD $3 miliar untuk mewujudkan kawasan eksklusif ini.
Proyek Nongsa D-Town di Indonesia:
Designer | Surbana Jurong dari Singapura |
Kapasitas | 8,000 tenaga kerja |
Luas Total | 62 hektar |
Properti | Perkantoran, pusat perbelanjaan, pusat pelatihan digital, hotel, dan co-working/co-living space |
Jarak | 40 menit dari Singapura melalui feri 15 menit perjalanan darat dari bandara internasional Batam |
Di sisi lain, proyek ini pun semakin mengukuhkan hubungan bilateral Indonesia-Singapura. Lagipula, Singapura merupakan sumber investasi asing terbesar bagi Indonesia hingga hari ini. Pada tahun 2020 investor-investor dari Singapura menanamkan USD $9.78 miliar di Indonesia.
Potensi Besar Ekonomi Digital Indonesia
Laporan e-Conomy SEA yang disusun Google, Temasek, dan Bain & Company menyebut ekonomi digital Indonesia di 2020 diperkirakan berkisar USD $44 miliar – angka ini setara dengan lebih dari 1/3 realisasi pendapatan negara di tahun yang sama. Dan di tahun 2025, potensi ekonomi digital Indonesia bisa melonjak hampir tiga kali lipat menjadi USD $124 miliar. Tidak diragukan, sebagai pasar Internet terbesar di Asia Tenggara, Indonesia sangat menjanjikan.
Nilai Digital Economi Indonesia:
Tahun | Nilai (USD miliar) |
2019 | 21 |
2020 | 44 |
2025 | 124 |
Sumber: e-Conomy SEA
Proyeksi dari e-Conomy SEA pun sejalan dengan harapan pemerintah Indonesia, yang bahkan memasang target lebih optimistis, yaitu potensi ekonomi USD $133 di 2025 miliar hanya dari ranah digital. Penggalangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) untuk go digital pun dianggap sebagai jalan untuk menggenjot potensi ini. Masuk akal memang, mengingat negara berkembang seperti Indonesia masih sangat mengandalkan laju roda ekonominya dari konsumsi rumah tangga dan kinerja UMKM.
Populasi pengguna Internet di Indonesia pada tahun 2019 sudah mencapai 180 juta orang, atau 67 persen dari populasinya, di mana pengguna Internet aktif sebanyak 150 juta, atau 56 persen dari populasinya. Namun, hingga saat ini, baru sekitar 10 juta UMKM, dari total sekitar 60 jutaan UMKM, yang masuk ekosistem digital.
How High Can Batam Go?
Pertanyaan ini muncul tanpa bermaksud pesimistis. Tentunya Batam masih punya jalan panjang untuk mencapai status “mirip” dengan Silicon Valley di San Fransisco, AS atau di Bangalore, India. Namun seberapa jauh Batam bisa ‘terbang tinggi’ sebenarnya harus dimulai dengan adanya kepastian siapa pihak berwenang yang ditunjuk untuk menguasai lapangan. Pasalnya kini ada dualism kepemimpinan di Batam, yaitu oleh pemerintah kota Batam dan Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) – Badan ini dibentuk di era 1970-an. Dualisme kepemimpinan ini disinyalir menghambat banyak investasi asing yang ingin masuk ke Batam.
Lagi pula upaya untuk meng-upgrade Batam menjadi kawasan bisnis, sudah ada sejak era Soeharto. Berdasarkan kesaksian mendiang B.J Habibie yang saat itu menjabat sebagai Menristek, Batam diproyeksi menjadi kota dengan industri high tech. Itulah sebabnya, Habibie pun menggagas pembangunan lima jembatan yang menghubungkan pulau Batam, pulau Tonton, pulau Nipah, pulau Rempang, pulau Galang, dan pulau Galang Baru (dikenal dengan nama Jembatan Barelang).
Batam pun mulai dikembangkan sebagai basis logistik dan operasional untuk industri minyak dan gas bumi oleh Pertamina. Namun setelah puluhan tahun berlalu, kondisi Batam saat ini bahkan belum bisa menyamai Singapura.
Lalu apakah keberadaan Nongsa D-Town disertai dengan payung hukum Omnibus Law UU Cipta Kerja cukup untuk menghancurkan ‘sumbatan’ yang menghalangi Batam untuk bertransformasi secara maksimal? Semoga saja…
Artikel ini ditulis Elizabet Siregar
-
Bahas
Silakan login atau berlangganan untuk mengomentari kolom ini