Indonesia Finally Has a Sovereign Wealth Fund: Indonesia Investment Authority (INA)
Setelah kabarnya sempat santer terdengar sejak akhir tahun lalu, kini Indonesia punya lembaga Sovereign Wealth Fund, bernama Indonesia Investment Authority (INA). Presiden Indonesia Joko 'Jokowi' Widodo pada Selasa (16/02/2021) telah mengumumkan orang-orang yang menempati direksi lembaga pengelola investasi tersebut. Sebagai permulaan, Jokowi telah memilih Ridha DM Wirakusumah – yang sebelumnya adalah Direktur Utama Bank Permata – untuk didapuk menjadi CEO INA.
Rp 15 Triliun Modal Awal INA dari APBN
Selanjutnya, pemerintah Indonesia telah menyediakan INA modal awal, sebesar Rp 15 triliun dari APBN 2020. Kemudian sepanjang 2021 modal tersebut akan ditingkatkan hingga jumlahnya genap Rp 75 triliun. Apakah ini terhitung target ambisius? Tidak juga. Pasalnya hingga akhir 2020, pemerintah Indonesia telah mengumpulkan komitmen investasi dari Uni Emirat Arab hingga Amerika Serikat yang nilainya mencapai USD 30.8 miliar. Jika komitmen itu terpenuhi, sesungguhnya Indonesia bahkan telah mengumpulkan hampir dua kali lipat dari target awal.
Siapa Yang Memimpin Indonesia Investment Authority (INA)?
Jabatan | |
Ridha DM Wirakusumah | CEO |
Stefanus Ade Hadiwidjaja | Dewan Direksi |
Eddy Porwanto | Dewan Direksi |
Marita Alisjahbana | Dewan Direksi |
Arief Budiman | Dewan Direksi |
INA Jadi Solusi Pembiayaan Proyek Infrastruktur
Diciptakannya INA merupakan bagian dari UU Omnibus Cipta Kerja, yang digadang-gadang sebagai solusi masalah investasi di Indonesia, sekaligus stimulus bagi investor asing yang melirik Indonesia namun enggan dengan ketidakpastian hukumnya.
Komitmen Investasi Lewat INA:
Negara | Nilai (USD Miliar) |
United Arab Emirates | 22.8 |
Japan | 4.0 |
Canada | 2.0 |
United States | 2.0 |
Pemerintah Indonesia rupanya menyadari bahwa demi memenuhi ambisi pembangunan infrastrukturnya adalah mustahil hanya mengandalkan APBN dan utang luar negeri, terutama setelah pandemi COVID-19 memukul ekonomi global. Apalagi selama ini pendapatan ekspor Indonesia masih ditopang oleh sektor komoditas yang harganya fluktuatif. Goncangan di sektor komoditas juga berarti goncangan di penerimaan negara.
Itu sebabnya INA tidak bisa disamakan dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), karena dana yang masuk tidak melulu berwujud pinjaman melainkan dalam wujud penyertaan modal atau saham.
Pemerintah Indonesia pun telah mematok INA untuk memberikan dividen maksimal 30 persen setiap tahun. Harapan pemerintah ini dinilai cukup moderat, jika dibandingkan dengan dividen perusahaan-perusahaan BUMN, yang rata-rata mengembalikan 20–45 persen di tahun-tahun sebelum pandemi melanda.
Untuk itu, lembaga ini harus dipastikan mampu melakukan pengelolaan asset dengan baik, termasuk memperoleh calon mitra investasi yang tepat.
Target Pertama INA: Proyek Jalan Tol
Lalu kemana sasaran triliunan dana INA ditujukan? CEO INA Ridha Wirakusumah menyebut proyek-proyek jalan tol akan menjadi sasaran pertama investasi INA. Multiplier effect yang dapat ditimbulkan jalan tol menjadi alasan Ridha mengutamakan kluster ini, ketimbang pelabuhan, bandara, maupun infrastruktur lainnya.
Sebagai catatan, Kementerian PUPR memiliki target untuk membangun 2,500 km jalan tol baru pada periode 2019–2024, sehingga di 2024 ada sekitar lebih dari 4,500 km jalan tol yang dapat digunakan warga. Dan hingga akhir 2020, jalan tol yang telah beroperasi baru sekitar 2,346 km.
Rencana INA ini tentunya menjadi angin segar bagi perusahaan yang bergerak di sektor jalan tol, seperti Hutama Karya, Waskita Karya, dan Jasa Marga. Apalagi Waskita Karya memang berencana mendivestasikan kepemilikannya di 9 ruas tol tahun ini dengan nilai berkisar Rp 11 triliun.
Proyek Divestasi Saham Waskita Karya:
ruas Medan - Kualanamu |
ruas Tebing Tinggi |
ruas Kuala Tanjung - Tebing Tinggi - Parapat |
ruas Cibitung - Cilincing, Cinere - Serpong |
ruas Bogor - Ciawi - Sukabumi |
ruas Depok - Antasari |
ruas Pemalang - Batang |
ruas Batang - Semarang |
ruas Krian - Legundi - Bunder Manyar |
Apakah Indonesia Ketinggalan?
Indonesia bisa dikatakan cukup ‘ketinggalan kereta’ untuk membentuk Sovereign Wealth Fund jika dibandingkan dengan sejumlah negara lainnya. Tidak usah jauh-jauh membandingkannya dengan negara di Eropa. Bahkan sesama rekan ASEAN-nya, Singapura dan Malaysia, telah punya Sovereign Wealth Fund sejak belasan bahkan puluhan tahun silam.
Sovereign Wealth Fund di Singapore dan Malaysia:
Negara | SWF | Aset |
Singapore | GIC Private Limited | USD $100 miliar |
Malaysia | Khazanah Nasional | USD $61.4 miliar |
Meski begitu, memang sebaiknya dimulai ketimbang tidak sama sekali. Walaupun setelah mengambil langkah awal, Indonesia pun masih harus bergumul dengan momok yang ‘menghantui’ negara berkembang, yaitu potensi korupsi.
Memang menjadi suatu dilema saat melihat risiko korupsi bersamaan dengan potensi investasi di negara yang masih memiliki prospek cerah seperti Indonesia. Namun jika melihat besarnya ambisi presiden Widodo untuk menjadikan INA lembaga investasi kelas dunia, tak menutup kemungkinan INA pun akan menjadi andalan bagi investor masuk ke proyek jumbo pembangunan Ibu Kota Negara yang baru di Kalimantan Timur senilai Rp 500 triliun. Di tahap awal, ibu kota baru ditargetkan dapat membangun pusat pemerintahan di luas 6,000 ha lahan dari 180 ribu ha yang tersedia hingga 2024. Namun pembangunan dijadwalkan berlangsung dalam jangka panjang hingga 2045.
Penulis: Elizabet Siregar
-
Bahas
Silakan login atau berlangganan untuk mengomentari kolom ini