Keajaiban Orde Baru Suharto di Indonesia
Pada pertengahan tahun 1960an, kondisi ekonomi Indonesia telah mencapai keadaan yang sangat buruk. Perekonomian Indonesia menderita karena kekacauan politik yang dipicu oleh Presiden Soekarno, presiden pertama Indonesia. Masalah-masalah ekonomi tidak menjadi perhatian utama bagi Soekarno yang menghabiskan masa hidupnya untuk berjuang di arena politik. Beberapa contoh dari kebijakan-kebijakannya yang memberikan dampak negatif pada perekonomian adalah pemutusan hubungan dengan negara-negara Barat (dan karenanya mengisolir Indonesia dari ekonomi dunia dan mencegah negara ini dari menerima bantuan-bantuan asing yang sangat dibutuhkan) dan deficit spending melalui pencetakan uang, yang menyebabkan hiperinflasi yang berada di luar kendali. Namun, setelah Suharto mengambil alih kekuasaan dari Soekarno di pertengahan 1960an, kebijakan-kebijakan ekonomi mengalami perubahan arah yang radikal.
Pembangunan ekonomi Indonesia selama pemerintahan Orde Baru Suharto bisa dibagi dalam tiga periode, setiap periode dikenali dengan kebijakan-kebijakan spesifiknya yang ditujukan untuk konteks ekonomi spesifik. Periode-periode ini adalah:
• Pemulihan ekonomi (1966-1973)
• Pertumbuhan ekonomi secara cepat dan intervensi Pemerintah yang semakin kuat (1974-1982)
• Pertumbuhan didorong oleh ekspor dan deregulasi (1983-1996)
Pemulihan Ekonomi (1966-1973)
Yang menjadi misi dasar pemerintahan Orde Baru Suharto adalah pembangunan ekonomi; langkah pertama adalah reintegrasi Indonesia ke dalam ekonomi dunia dengan cara bergabung kembali dengan International Monetary Fund (IMF), Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia dalam pertengahan akhir tahun 1960an. Ini memulai aliran bantuan keuangan dan bantuan asing dari negara-negara Barat dan Jepang masuk ke Indonesia. Permusuhan dengan Malaysia (politik konfrontansi Soekarno) juga dihentikan. Langkah kedua adalah memerangi hiperinflasi. Suharto mengandalkan sekelompok teknokrat ekonomi (sebagian besar dididik di Amerika Serikat) untuk membuat sebuah rencana pemulihan ekonomi. Di akhir 1960an stabilitas harga diciptakan melalui sebuah kebijakan yang melarang pendanaan domestik dalam bentuk hutang domestik ataupun pencetakan uang. Kemudian sebuah mekanisme pasar bebas dipulihkan dengan tindakan-tindakan membebaskan kontrol pasar, diikuti dengan implementasi Undang-Undang (UU) Penanaman Modal Asing (1967) dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (1968). Kedua udang-undang ini mengandung insentif-insentif yang menarik bagi para investor untuk berinvestasi di negara ini dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi lebih dari 10% di tahun 1968.
Pertumbuhan Ekonomi Cepat dan Intervensi Pemerintah yang Makin Kuat (1974-1982)
Sampai tahun 1982, pertumbuhan ekonomi tahunan yang cepat di atas minimum 5% dijaga. Fakta lain yang juga penting adalah Indonesia diuntungkan secara siginifikan dari dua oil boom yang terjadi di tahun 1970an. Oil boom yang pertama terjadi di tahun 1973/1974 ketika Organization of Petroleum-Exporting Countries (OPEC), yang anggotanya termasuk Indonesia, memotong ekspornya dengan drastis dan menyebabkan kenaikan harga minyak yang besar. Oil boom kedua terjadi di tahun 1978/1979 ketika Revolusi Iran mengganggu produksi minyak dan kembali terjadi kenaikan harga yang besar. Karena kedua oil boom ini, pendapatan ekspor Orde Baru dan pendapatan Pemerintah meningkat tajam. Ini memungkinkan sektor publik untuk memainkan peran yang lebih besar dalam perekonomian dengan melakukan investasi-investasi publik yang penting dalam pembangunan daerah, pembangunan sosial, infrastruktur dan pendirian industri-industri (dasar skala besar), diantaranya termasuk industri-industri substitusi impor. Barang-barang modal dan bahan-bahan mentah bisa diimpor karena pendapatan devisa yang makin membesar. Hal ini membangkitkan sektor manufaktur yang berkembang. Namun, kemudian terjadi kerusuhan besar saat kunjungan Perdana Menteri Jepang di tahun 1974 karena anggapan bahwa ada terlalu banyak proyek-proyek investasi asing di negara ini. Masyarakat Indonesia merasa frustasi karena orang-orang pribumi tampaknya diabaikan dari menikmati buah-buah perekonomian. Pemerintah merasa terguncang karena kerusuhan ini (yang dikenal sebagai Peristiwa Malari) dan memperkenalkan aturan-aturan yang lebih ketat mengenai investasi asing dan menggantinya dengan kebijakan-kebijakan yang memberikan perlakukan khusus yang menguntungkan penduduk pribumi. Meningkatnya pendapatan pemerintah yang didapat dari oil boom pertama berarti Pemerintah tidak lagi bergantung pada investasi-investasi asing, dan karenanya pendekatan intervensionis bisa dimulai.
Pertumbuhan Ekonomi Didorong Ekspor dan Deregulasi (1983-1996)
Pada awal 1980an, harga minyak mulai jatuh lagi dan reposisi mata uang di tahun 1985 menambah hutang luar negeri Indonesia. Pemerintah harus melakukan usaha-usaha baru untuk memulihkan stabilitas makroekonomi. Nilai rupiah didevaluasi di tahun 1983 untuk mengurangi defisi transaksi berjalan yang bertumbuh, UU pajak yang baru diterapkan untuk menambah pendapatan dari pajak non minyak dan tindakan-tindakan deregulasi perbankan dilakukan (credit ceilings untuk suku bunga dihapuskan dan bank diizinkan untuk menentukan tingkat suku bunga dengan bebas). Terlebih lagi, perekonomian telah diarahkan ulang dari perekonomian yang tergantung kepada minyak kepada sebuah perekonomian yang memiliki sektor swasta yang kompetitif yang berorientsi pada pasar ekspor. Ini menyebabkan adanya tindakan-tindakan deregulasi baru untuk memperbaiki iklim investasi bagi para investor swasta. Waktu harga minyak jatuh lagi di pertengahan 1980an, Pemerintah meningkatkan tindakan-tindakan untuk mendukung pertumbuhan yang didorong oleh ekspor (seperti pembebasan bea cukai-bea cukai impor dan pengulangan devaluasi rupiah). Perubahan kebijakan-kebijakan ini (dikombinasi dengan paket deregulasi di tahun 1990an) juga mempengaruhi investasi asing di Indonesia. Investasi asing yang berorientasi pada ekspor disambut secara khusus.
Sektor lain yang juga terpengaruh oleh tindakan-tindakan deregulasi yang mendalam adalah sektor keuangan Indonesia. Bank-bank swasta baru diizinkan untuk didirikan, bank-bank yang sudah ada bisa membuka cabang-cabang di seluruh negeri dan bank-bank asing bebas beroperasi di luar Jakarta. Reformasi finansial ini kemudian akan menjadi masalah yang memperkuat krisis di Indonesia pada akhir 1990an. Namun sebelumnya, tindakan-tindakan ketat ini memiliki dampak positif pada perekonomian Indonesia. Ekspor produk-produk manufaktur mulai menjadi mesin perekonomian Indonesia. Antara 1988 dan 1991 produk domestik bruto (PDB) Indonesia bertumbuh rata-rata 9% setiap tahunnya, melambat menjadi 'hanya' rata-rata 7,3% pada periode 1991-1994 dan meningkat lagi di dua tahun selanjutnya.
Masalah-masalah di Horison
Penjelasan di atas memberikan gambaran positif tentang perekonomian pada masa Orde Baru. Memang betul bahwa perekonomian berkembang dengan cepat dan bersama dengan itu ada perbaikan-perbaikan dalam pembangunan sosial (walapun dalam kecepatan yang lebih lambat). Secara khusus, pengurangan kemiskinan absolut adalah pencapaian Pemerintah yang luar biasa. Di pertengahan 1960an setengah dari populasi Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan namun pada tahun 1996, angka ini telah berkurang menjadi 11% dari total populasi Indonesia. Kendati begitu, gaya pemerintahan Pemerintah Orde Baru mengimplikasikan konsekuensi-konsekuensi berbahaya yang akan memuncak pada Krisis Finansial Asia pada akhir 1990an.
Yang menjadi isu pertama adalah inti dari karakteristik pemerintahan Orde Baru. Orde Baru adalah rezim otoriter yang didukung militer dan tidak menghormati hak asasi manusia. Selama periodenya yang lebih dari 3 dekade, Pemerintah tampaknya semakin tidak selaras dengan warganegaranya. Pembuatan keputusan-keputusan politik dan ekonomi pada dasarnya direbut dari masyarakat umum dan diberikan kepada sekelompok kecil elit pendukung Suharto. Namun, karena masyarakat Indonesia menjadi lebih berpendidikan berkat perkembangan-perkembangan sosial, kalangan-kalangan berpendidikan secara natural ingin suara mereka didengar dan berpartisipasi baik dalam bidang politik maupun ekonomi. Meskipun begitu, Suharto tidak mendukung hal ini dan menempatkan lebih banyak batasan dalam masyarakat Indonesia (contohnya dengan pembatasan demonstrasi mahasiswa yang hanya bisa dilaksankan di dalam universitas-universitas saja). Kemacetan politik ini menimbulkan frustasi berat dalam sebagian besar dari populasi Indonesia.
Kedua - dan terkait dengan paragraf-paragraf sebelumnya - Orde Baru baru berdasarkan pada sistem nepotisme dan korupsi membuat sekelompok kecil elit pendukung Suharto luar biasa diuntungkan dalam menikmati manisnya buah-buah perekonomian negara. Kelompok ini terutama terdiri dari mitra-mitra bisnis keturunan Tionghoa (mendorong sentimen etnis) dan kemudian anak-anak Suharto juga ikut di dalamya. Janji-janji keterbukaan dan transparansi kebijakan Pemerintah tak pernah dipenuhi. Terlebih lagi, korupsi membuat ekonomi tidak bisa berfungsi efektif. Hal ini akan terungkap ketika Krisis Asia terjadi di tahun 1997.
Ketiga - juga berhubungan dengan paragraf-paragraf sebelumnya - sistem finansial sudah mulai kehilangan kontrol setelah tindakan-tindakan deregulasi di sektor perbankan di akhir 1980an. Dengan sedikit batasan-batasan untuk membuka bank dan cabang-cabangnya, menjadi semakin sulit untuk memonitor aliran uang dalam sistem perbankan Indonesia. Kekurangan data finansial yang serius, peraturan dan kerangka hukum yang lemah dan aliran uang ilegal berkontribusi pada fakta bahwa Indonesia mengalami pukulan paling keras saat Krisis Keuangan Asia melanda Indonesia.
Bacalah detail penjelasan mengenai Krisis Keuangan Asia.