Gas Alam
Gas alam adalah komponen vital untuk suplai energi dunia. Gas alam merupakan sumber penting untuk produksi baik bahan bakar maupun amonia (amonia merupakan komponen vital untuk produksi pupuk). Mirip dengan minyak mentah dan batubara, gas alam adalah bahan bakar fosil yang berasal dari sisa-sisa tanaman, hewan dan mikroorganisme, tersimpan dalam di bawah tanah selama jutaan tahun. Namun tidak seperti bahan-bahan bakar fosil lainnya, gas alam adalah salah satu sumber energi yang paling bersih (memiliki intensitas karbon yang rendah), teraman dan paling berguna dari semua sumber energi.
For an updated analysis we refer you to our Energy Research Report
Dua produsen gas alam terbesar di dunia (Amerika Serikat dan Rusia) bersama-sama berkontribusi hampir 40% dari total produksi gas dunia.
Negara Produsen Gas Alam Terbesar pada Tahun 2015:
1. Amerika Serikat | 767.3 |
2. Russia | 573.3 |
3. Iran | 192.5 |
4. Qatar | 181.4 |
5. Kanada | 163.5 |
6. China | 138.0 |
7. Norwegia | 117.2 |
8. Saudi Arabia | 106.4 |
9. Algeria | 83.0 |
10. Indonesia | 75.0 |
dalam milyar m³
Negara Konsumsi Gas Alam Terbesar pada Tahun 2015:
1. Amerika Serikat | 778.0 |
2. Russia | 391.5 |
3. China | 197.3 |
4. Iran | 191.2 |
5. Jepang | 113.4 |
6. Saudi Arabia | 106.4 |
7. Kanada | 102.5 |
8. Meksiko | 83.2 |
9. German | 74.6 |
26. Indonesia | 39.7 |
dalam milyar m³
Sumber: BP Statistical Review of World Energy 2016
Citra yang penting dari gas alam adalah bahwa bahan bakar ini memainkan peran yang signifikan di kebanyakan sektor dalam perekonomian dunia (industri, pembangkit listrik, komersil dan di tempat tinggal). Terlebih lagi, karena pada faktanya ada banyak cadangan gas alam di dunia - yang dapat dikembangkan dan diproduksi tanpa membutuhkan investasi besar - gas alam kemungkinan akan menjadi semakin penting di masa mendatang karena kebanyakan negara ingin mengurangi ketergantungan pada sumber-sumber energi yang mahal dan tidak ramah lingkungan seperti minyak. Saat ini, gas alam berkontribusi sekitar 23% dari sumber-sumber energi primer dunia.
Gas Alam di Indonesia
Produksi dan Konsumsi Gas di Indonesia
Indonesia memiki cadangan gas alam yang besar. Saat ini, negara ini memiliki cadangan gas terbesar ketiga di wilayah Asia Pasifik (setelah Australia dan Republik Rakyat Tiongkok), berkontribusi untuk 1,5% dari total cadangan gas dunia (BP Statistical Review of World Energy 2015).
Kebanyakan pusat-pusat produksi gas Indonesia berlokasi di lepas pantai. Yang paling besar di antaranya adalah:
1. Arun, Aceh (Sumatra)
2. Bontang (Kalimantan Timur)
3. Tangguh (Papua)
4. Pulau Natuna
Indonesia memproduksi sekitar dua kali lipat dari gas alam yang dikonsumsinya. Kendati begitu, ini tidak berarti bahwa produksi gas domestik memenuhi permintaan gas domestik. Bahkan, ada kekurangan gas untuk industri-industri domestik di Indonesia. Perusahaan Gas Negara (PGN) belum mampu memenuhi permintaan domestik. Ini memiliki dampak-dampak yang memiliki cakupan luas karena hal ini menyebabkan Perusahaan Listrik Negara (PLN), konsumen gas domestik terbesar, mengalami kekurangan struktural suplai gas dan memaksa PLN untuk beralih ke bahan-bahan bakar fosil - yang lebih mahal dan tidak ramah lingkungan - yang lain, seperti minyak bumi, untuk menghasilkan listrik. Meskipun begitu, pemadaman listrik sering terjadi di seluruh negeri (terutama di luar kota-kota besar Pulau Jawa), dan karenanya membebani industri-industri negara ini. Terlebih lagi, hampir 80 juta penduduk Indonesia belum memiliki akses listrik seperti yang ditunjukkan oleh persentase kelistrikan Indonesia yang relatif rendah pada 84,1% di 2014.
Pemerintah Indonesia bertujuan untuk membatasi ekspor gas negara ini dalam rangka mengamankan suplai domestik sambil mendorong penggunaan gas alam sebagai sumber bahan bakar untuk konsumsi industri dan personal.
Sebagian besar hasil produksi gas diekspor karena produksi gas negara ini didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing yang hanya bersedia untuk berinvestasi bila diizinkan mengekspor komoditi ini. Saat ini, perusahaan-perusahaan asing, seperti CNOOC Limited, Total E&P Indonesia, Conoco Philips, BP Tangguh, dan Exxon Mobil Oil Indonesia, berkontribusi untuk sekitar 87% dari produksi gas alam Indonesia. Sisa 13% diproduksi oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertamina. Sekitar setengah dari total hasil produksi gas dijual secara domestik.
Tabel di bawah mengindikasikan baik produksi maupun konsumsi gas di Indonesia selama satu dekade terakhir.
Produksi dan Konsumsi Gas di Indonesia 2006-2015:
2006 | 2007 | 2008 | 2009 | 2010 | 2011 | 2012 | 2013 | 2014 | 2015 | |
Produksi dalam milyar m³ |
74.3 | 71.5 | 73.7 | 76.9 | 85.7 | 81.5 | 77.1 | 72.1 | 73.4 | 75.0 |
Konsumsi dalam milyar m³ |
36.6 | 34.1 | 39.1 | 41.5 | 43.4 | 42.1 | 42.2 | 36.5 | 38.4 | 39.7 |
Sumber: BP Statistical Review of World Energy 2015
Seperti yang ditunjukkan di tabel di atas - dan kontras dengan produksi minyak nasional - produksi gas di Indonesia tetap stabil, mencatat rekor tinggi di 2010 karena awal produksi Ladang Tangguh (berlokasi di Papua) di tahun yang sama (dimanajemen oleh BP Indonesia) yang merupakan sebuah ladang penting dalam industri gas negara ini. Setelah 2010, produksi gas telah menurun karena masalah-masalah suplai.
Meskipun sejumlah perusahaan-perusahaan kecil aktif di sektor gas Indonesia, sebagian besar dari produksi dan eksplorasi domestik berada di tangan enam perusahaan yang telah disebutkan, yang hanya satu yang dimiliki Indonesia (Pertamina). Bila dikombinasikan, CNOOC Ltd. dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Pertamina berkontribusi untuk lebih dari setengah produksi gas Indonesia.
Kebutuhan Gas Bumi untuk Industri Indonesia:
Industri | 2015 | 2020F |
Pupuk | 791.22 | 1,028.22 |
Petrokimia | 295.00 | 708.00 |
Keramik | 133,95 | 134.68 |
Baja | 80.00 | 120.00 |
Glassware | 28.38 | 28.60 |
Kaca | 81.19 | 81.19 |
Semen | 9.00 | 10.00 |
Sarung Tangan Karet | 4.67 | 4.70 |
dalam metric standard cubic feet per day (MMscfd)
Sumber: Forum Industri Pengguna Gas Bumi
Ekspor Gas Indonesia
Sepanjang sejarahnya, produksi gas Indonesia selalu ditujukan untuk pasar ekspor. Kendati begitu, penurunan produksi minyak domestik dikombinasikan dengan peningkatan harga minyak internasional, membuat Pemerintah memutuskan untuk melakukan usaha-usaha untuk memperbesar penggunaan gas domestik dari pertengahan 2000an sampai saat ini. Di beberapa tahun terakhir penggunaan gas telah meningkat dengan subur dan menurunkan ekspor namun fasilitas-fasilitas infrastruktur yang terbatas dalam jaringan transmisi dan distribusi Indonesia memperumit perkembangan lebih lanjut dari konsumsi domestik. Infrastruktur layak yang terbatas ikut disebabkan karena kurangnya investasi namun juga karena kondisi geografis negara ini. Distribusi dengan tanker lebih mudah dibandingkan jaringan pipa karena cadangan-cadangan gas alam yang penting berlokasi di lepas pantai, jauh dari pusat-pusat permintaan gas yang besar.
Setelah Qatar, Malaysia dan Australia, Indonesia saat ini adalah eksportir gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) terbesar keempat di dunia. Hal ini tidak berarti - seperti yang disebutkan di atas - bahwa permintaan domestik dapat dipenuhi oleh produksi domestik. Akibatnya, Indonesia perlu mengimpor LNG dari luar negeri supaya tidak menganggu komitmen ekspor. Diperkirakan bahwa pada tahun 2017 suplai-suplai tambahan dari ladang-ladang gas baru Indonesia akan dapat menggantikan impor.
Indonesia, sebelumnya eksportir LNG terbesar, mengalami penurunan pangsa pasar LNG global, sebagian karena reorientasi kebijakan Pemerintah Indoensia di pertengahan2000an yang menargetkan lebih banyak suplai gas untuk pasar domestik dalam konteks meningkatkan penggunaan gas sebagai sebuah sumber energi (dengan mengurangi ketergantungan terhadap minyak). Namun, penurunan ini juga terjadi karena kurangnya investasi jangka panjang baik dalam eksplorasi maupun pengembangan ladang-ladang gas negara ini.
Pada akhir tahun 2014, Indonesian Petroleum Association (IPA) menyatakan bahwa lembaga ini memprediksi investasi (untuk eksplorasi) dalam sektor gas Indonesia akan turun 20% di 2015 (terutama karena rendahnya harga-harga energi). Selain itu, di akhir tahun 2014, Chevron Pacific Indonesia (anak perusahaan dari raksasa minyak dan gas yang bermarkas di Amerika Serikat Chevron Corp) menunda proyek Indonesia Deepwater Development (IDD) senilai 12 miliar dollar Amerika Serikat di Selat Makasar di Kalimantan Selatan karena isu-isu perizinan dan karena perusahaan ini membutuhkan lebih banyak waktu untuk merevisi perhitungan setelah penemuan cadangan-cadangan gas baru.
Sejumlah kontrak ekspor jangka panjang yang ditandatangani di awal dan pertengahan 2000-an dihargai di bawah harga pasar, berarti Indonesia kehilangan pendapatan berjumlah signifikan. Daripada menghubungkan tingkat kontrak dengan harga pasar gas yang berfluktuasi, sebuah harga tetap disetujui yang kemudian segera menjadi tidak sesuai lagi karena harga pasar (yang naik). Pemerintah Indonesia telah berusaha merenegosiasi kontrak-kontrak jangka panjang tersebut dalam rangka mendapatkan lebih banyak keuntungan finansial. Kendati begitu, dari perspektif para pelaku bisnis jelas niat merenegosiasi kontrak bukanlah pilihan yang terbaik (karena menyebabkan ketidakpastian mengenai komitmen Pemerintah Indonesia untuk menghormati kontrak yang telah ditandatangani). Tujuan-tujuan ekspor LNG utama Indoneisa adalah Jepang, Korea Selatan dan Taiwan.
Proyeksi Masa Mendatang untuk Sektor Gas Indonesia
Perekonomian Indonesia yang berekspansi dikombinasikan dengan niat Pemerintah untuk menurunkan ketergantungan pada minyak sebagai sumber suplai energi dalam industri-industri, pembangkit listrik dan transportasi akan menyebabkan permintaan domestik untuk gas untuk meningkat di masa mendatang. Negara ini memiliki cadangan gas berlimpah yang dapat mensuplai Indonesia dan juga pasar ekspor luar negeri untuk banyak dekade di masa mendatang. Namun, dalam rangka mencapai sektor gas yang efisien dan produktif, investasi skala besar baik dalam eksplorasi maupun infrastruktur (distribusional) akan dibutuhkan. Dalam rangka menarik lebih banyak investasi asing, sistem peraturan dan kerangka hukum yang jelas dan mendukung dibutuhkan.
Pada akhir 2015 I Gusti Nyoman Wiratmaja, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan investasi bernilai lebih dari 32 miliar dollar Amerika Serikat (kebanyakan dari sektor swasta) untuk penyulingan-penyulingan gas alam, dan infrastruktur yang berhubungan dengan gas dalam rangka memenuhi permintaan gas domestik pada 2025 (terutama untuk pembangkit-pembangkit listrik dan pabrik-pabrik pupuk). Permintaan gas Indonesia diperkirakan untuk naik dari 6,102 juta standar kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day/mmscfd) di 2015 menjadi 8,854 mmscfd di 2025 dengan permintaan yang sebagian besar berasal dari Pulau Jawa dan Bali. Tanpa memberikan detail-detail yang jelas, Wiratmaja menambahkan bahwa ada insentif-insentif untuk sektor swasta yang berinvestasi dalam industri gas domestik.
Updated pada 4 Juli 2016